William A Ward says:
Mediocre teacher tells,
Good teacher explains,
Superior teacher demonstrates,
Great teacher inspires.
~~~~
So, just find your inner voice and inspire others to find theirs!
Membaca sebuah posting di sebuah blog, tentang pentingnya kegiatan tulis-menulis bagi seorang akademisi, membuat saya 'tersindir'. Sebab, seorang akademisi dapat dilihat kredibilitas akademiknya dari karya tulisnya.
Ini tidak berarti bahwa kalangan akademisi yg tidak mempunyai karya ilmiah sama sekali sebagai bodoh. Tidak. Ia bisa saja pintar, bahkan mungkin saja lebih pintar dari yg menulis. Tapi, tanpa memiliki karya bagaimana orang lain tahu bahwa ia memiliki kapabilitas/kemampuan akademis yg mumpuni? Bagaimana orang tidak akan meragukan ijazah dan titelnya yg berderet-deret? Dan pada tataran praksis, bagaimana ia dapat mencapai kredit poin untuk menjadi profesor apabila tanpa memiliki karya tulis?
Berikut kutipannya dari www.fatihsyuhud.com
"Seorang akademisi baru dianggap pakar yg kredibel dan patut didengar kata-katanya kalau dia sudah membuahkan karya tulis, terutama yg berbentuk buku. Baik itu berupa kumpulan tulisan pendek atau karya utuh. Tanpa itu, janganlah merasa bangga hanya karena telah berhasil menjadi dosen. Karena kredibilitas kedosenan/akademisi Anda masih dipertanyakan banyak orang.
Nah, apakah seorang akademisi yg tak memiliki karya tulis pantas dianggap pakar? Apakah gelar M.A. dan Ph.D belum cukup untuk menjadi akademisi pakar yg kredibel? Tentu saja bisa. Akan tetapi masalahnya adalah, pertama, siapakah yg tahu akan kepakaran anda bila tidak menulis? Kedua, bagaimana kita dapat mengklaim diri sebagai pakar apabila keilmuan kita belum teruji dan dikritisi selain oleh mahasiswa sendiri yg umumnya akan berpikir dua kali untuk mengkritisi dosennya. Aturan tak tertulis dalam dunia kompetisi adalah semakin teruji kualitas seseorang di “medan tempur”, maka akan semakin tinggi kualitas orang tsb.
Dalam lingkup nasional dan internasional, akademisi yg belum memiliki karya tulis (published articles, atau buku), belum dianggap pakar, walaupun dia sudah bergelar M.A. atau Ph.D. Sebaliknya, walaupun baru lulus S1 tapi kalau sudah menulis buku bisa dianggap akademisi pakar. "
Jadi inget kata2nya Pak Hanna Djumhana Bastaman di Bukunya 'Logoterapi':
"Pesan2 pada para dosen muda, agar dari sekarang mulai menulis karya2 ilmiah di bidang masing2, supaya kelak tidak merasa 'berutang akademis' seperti yang saya (Pak Hanna.red) alami. Janganlah kelak saat memasuki dan menjalani masa pensiun baru menyadari betapa kecilnya karya bakti kita kepada almamater."
Hum, hum, hum ...