Untuk membahas tentang Behavior Modification sbg
bagian dari terapi, maka pemaparan terlebih dahulu
difokuskan pada pemahaman ttg definisi behavior, dan
refresh prinsip2 pada teori behavioristik yang pernah
didapat pada mata kuliah psi-umum dan psi-kepribadian.
Apa sih behavior itu?
Behavior atau Perilaku merupakan sebuah ’aktivitas’,
’tindakan’, ’kinerja’, ’respon’ dan ’reaksi’ (Martin &
Pear, 2003)
Lantas pertanyaan berlanjut ttg apa saja sih yg masih
diingat berkaitan dengan teori2 behaviorisme?
Penelitiannya Pavlov, Skinner, dll??
Pavlov = Classical Conditioning,
Skinner = Operant Conditioning.
Reinforcement Positif atau Negatif, Extinction,
Conditioned/Unconditioned stimulus/respon, Intermitten
reinforcement, Stimulus Discrimination, Stimulus
Generalization, dll
Mengapa sih perlu ada ’Label’ atau ’Penamaan’ terhadap
perilaku tertentu?
Memudahkan mengkategorisasi
Memudahkan pemilihan treatment
Mencegah efek negatif dari perbedaan
treatment yg akan/telah diberikan
---hehe, jd sekarang jangan suka suudzon sama psikolog
ya, karena psikolog suka kasih2 label itu ternyata
maksudnya baiikkk lhoo..., biar gak mal-treatment!!
Pada behavioris ini, ’label’ utamanya diberikan pada
perilaku yg ’deficit’ dan ’eksesif’ saja,
mengapa...???
Ya iya lhaaa, deficit dan eksesif itu kan nilai
ekstrim, artinya: ’kekurangan’ dan ’kelebihan’, yang
dalam bahasa psikologi klinis dikategorikan sbg
’abnormal’ atau ’patologis’.
Contoh: Phobia adalah ketakutan atau kecemasan
berlebih pada stimulus tertentu. Tidak Pintar (IQ
dibawah rata2), atau ’kepinteran’ (IQ di atas rata2)
juga kan dikategorikan sbg sebuah ’permasalahan’ oleh
banyak orang.
Aliran behaviorisme datang sbg antitesis dari aliran
Psikoanalis. Lantas perbedaannya apa?
Ini garis besarnya:
• Premis Psi-analis: gangguan psikologis merupakan
hasil dari represi konflik2 tak sadar. Maka Tujuan
terapi Psi-analis: mematahkan resistensi, dan
menyelaraskan kembali konflik2 ke ‘alam sadar’. Tau
kan tehniknya? Itu lho, analisa mimpi, asosiasi bebas,
dll
• Premis Behavioristik: t-l maladaptif merupakan
perilaku yg dipelajari dan diperkuat oleh lingkungan.
Maka fokus terapi terletak pd modifikasi t-l yg tampak
pada keluhan utama atau ‘simtom’ dari si klien. Contoh
konkritnya? Ntar ya, pd pembahasan selanjutnya...
Karakteristik modifikasi perilaku tuh apa aja sih?
(Martin & Pear, 2003):
- Penekanan yang kuat pada ‘mendefinisikan
masalah’ dalam bentuk ‘perilaku yg dapat diukur dengan
cara tertentu’
- Penggunaan perubahan yg terjadi dalam
pengukuran perilaku dari masalah adalah sebagai
indikator seberapa jauh masalah telah teratasi
- Stimulus2 (= tehnik/alat terapi) yg digunakan
dalam modifikasi perilaku nantinya berfungsi u/:
menghilangkan tingkah laku MALADAPTIF & Memperkuat
respon2 yg ADAPTIF (Wolberg, 1977)
- Prosedur dan tehnik penanganan lainnya adalah
dengan cara mengatur kembali lingkungan seseorang agar
ia dapat berfungsi dengan lebih baik dalam masyarakat.
- Metode dan alasannya dapat dijelaskan dengan
tepat dan jelas.
- Teknik berasal dari penelitian lab
experimental.
- Menggunakan teori psikologi belajar dan
behavioris klasik.
- Menggunakan demonstrasi ilmiah dimana
intervensi tertentu bertanggung jawab terhadap
perubahan perilaku tertentu.
- Menghargai akuntabilitas dari semua orang
yang terlibat dalam program modifikasi perilaku,
seperti: klien, staff, administrasi, konsultan, guru,
orang tua, dll.
Seberapa efektifkah behavior therapy?
Perbandingan dgn terapi konvensional lainnya yakni:
misal pada insight therapy 1 kasus berhasil dari 15
kasus phobia, pd behavior therapy 13 kasus berhasil
dari 18 kasus.
--wah, tapi kita harus tetap kritis nih (praduga
bersalah): siapa tau nih hasil penelitian adalah
dibuat oleh orang behavioris. Since, ilmu pengetahuan
kan berada di bawah kuasa, maka bisa aja hasilnya
dibesar2kan untuk kepentingan kelompok tertentu kan?
Hehe, mendoktrinkan ke-skeptis-an nih daku ;p
Lanjut. Untuk berperan sbg ‘agen reinforcement’ yg
memadai, seorang terapis behavioris harus dapat
menjadi sumber dari reward2 (dgn cara mengembangkan
hubungan baik thdp klien, dan memberikannya
‘pendampingan segera’ jika klien sdg membutuhkan).
Note: Kok yg kalimat di dalam kurung ini terkesan ada
sisi2 humanisnya yha?
Nah, jawaban ini sangat berkaitan dengan munculnya
aliran ’mirip2’ atau ’seakar’ dengan Behavioris, tapi
mengusung sisi lainnya juga (dalam arti, tidak hanya
Stimulus-Respon dan Perilaku). Yakni disebut sbg
aliran CBT dan REBT. Pada CBT adalah perpaduan antara
Cognitive-Behavior Therapy, sementara pada REBT
memadukan Rational-Emotive-Behavior Therapy. Asumsinya
ialah: untuk memperkuat sebuah perilaku tidak hanya
dibutuhkan modifikasi ’tingkah laku yg tampak’ saja,
melainkan ada proses2 kognitif/rasional dan proses2
emotif yg tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
---------------------------
Referensi:
Martin, Gary & Pear, Joseph. 2003. Behavior
Modification: What It Is and How to Do It. 7th ed. New
Jersey: Prentice-Hall Inc.
Wolberg M.D, Lewis R. 1977. The Technique of
Psychotherapy. 3rd ed. New York: Grune & Stratton,
Inc.
Membaca sebuah posting di sebuah blog, tentang pentingnya kegiatan tulis-menulis bagi seorang akademisi, membuat saya 'tersindir'. Sebab, seorang akademisi dapat dilihat kredibilitas akademiknya dari karya tulisnya.
Ini tidak berarti bahwa kalangan akademisi yg tidak mempunyai karya ilmiah sama sekali sebagai bodoh. Tidak. Ia bisa saja pintar, bahkan mungkin saja lebih pintar dari yg menulis. Tapi, tanpa memiliki karya bagaimana orang lain tahu bahwa ia memiliki kapabilitas/kemampuan akademis yg mumpuni? Bagaimana orang tidak akan meragukan ijazah dan titelnya yg berderet-deret? Dan pada tataran praksis, bagaimana ia dapat mencapai kredit poin untuk menjadi profesor apabila tanpa memiliki karya tulis?
Berikut kutipannya dari www.fatihsyuhud.com
"Seorang akademisi baru dianggap pakar yg kredibel dan patut didengar kata-katanya kalau dia sudah membuahkan karya tulis, terutama yg berbentuk buku. Baik itu berupa kumpulan tulisan pendek atau karya utuh. Tanpa itu, janganlah merasa bangga hanya karena telah berhasil menjadi dosen. Karena kredibilitas kedosenan/akademisi Anda masih dipertanyakan banyak orang.
Nah, apakah seorang akademisi yg tak memiliki karya tulis pantas dianggap pakar? Apakah gelar M.A. dan Ph.D belum cukup untuk menjadi akademisi pakar yg kredibel? Tentu saja bisa. Akan tetapi masalahnya adalah, pertama, siapakah yg tahu akan kepakaran anda bila tidak menulis? Kedua, bagaimana kita dapat mengklaim diri sebagai pakar apabila keilmuan kita belum teruji dan dikritisi selain oleh mahasiswa sendiri yg umumnya akan berpikir dua kali untuk mengkritisi dosennya. Aturan tak tertulis dalam dunia kompetisi adalah semakin teruji kualitas seseorang di “medan tempur”, maka akan semakin tinggi kualitas orang tsb.
Dalam lingkup nasional dan internasional, akademisi yg belum memiliki karya tulis (published articles, atau buku), belum dianggap pakar, walaupun dia sudah bergelar M.A. atau Ph.D. Sebaliknya, walaupun baru lulus S1 tapi kalau sudah menulis buku bisa dianggap akademisi pakar. "
Jadi inget kata2nya Pak Hanna Djumhana Bastaman di Bukunya 'Logoterapi':
"Pesan2 pada para dosen muda, agar dari sekarang mulai menulis karya2 ilmiah di bidang masing2, supaya kelak tidak merasa 'berutang akademis' seperti yang saya (Pak Hanna.red) alami. Janganlah kelak saat memasuki dan menjalani masa pensiun baru menyadari betapa kecilnya karya bakti kita kepada almamater."
Hum, hum, hum ...